Butet Kartaredjasa”Bagaimana mengukur kualitas cinta pacar kita?””Kalau dia sudah berani (ma’af) kentut di depan kita!”
Guyonan yang beberapa tahun lalu dilontarkan Ashadi Siregar, ahlikomunikasi sekaligus penulis novel Cintaku di Kampus Biru ini, rasanyamasih terngiang di kuping. Bagi saya, tesis jenaka itu bukan sekadarcanda. Jika direnungkan ada kedalaman makna.Kentut yang dipahami sebagai tabu jika diledakkan di ranah publik, danselalu ditahan karena dianggap memalukan, kali ini dibiarkan hadirtanpa sungkan. Saya mengartikan, ini adalah wujud kepasrahan,keikhlasan, dan ketelanjangan diri.
Mungkin secara etis nilainya jeblok, tetapi secara kesehatan nilainya8, dan menurut ”ilmu asmara” nilainya 10. Soalnya, justru ketika rasamalu dan rasa sungkan sudah ditanggalkan, saat itulah sebenarnyatotalitas dan keutuhan cintalah yang dihadirkan. Sudah tak ada lagijarak. Semua sudah hadir polos tanpa menyembunyikan aib dirinya.
Oleh karena itulah, jika sekarang Anda tengah dilanda asmara dan inginmenguji kualitas cinta pasangannya, bangkitkanlah nyali untukmemperlihatkan yang kita sangka sebagai keburukan. Sajikanlahtabu-tabu yang bersifat personal. Biarkan oplosan nitrogen, oksigen,metan, karbondioksida, dan hidrogen yang bersarang di usus kitamenjerit nyaring: duuuttt!!! Yakinlah, kentut bisa dipersembahkansebagai tanda cinta.
Akan tetapi, sialnya, selalu saja orang jengah melaksanakan nasihatini. Jika direlasikan dengan kondisi mutakhir di mana banyak orangngebet jadi pemimpin, tampaklah mereka sibuk menyembunyikan ”kentut”alias membungkus bau busuk dirinya. Baik mereka yang kebelet jadibupati, gubernur, atau sedang ancang-ancang pengin melompat nangkringdi kursi kepresidenan.
Coba lihatlah, mereka berlomba menjejalkan wajahnya ke mata khalayaklewat billboard, baliho, dan poster. Iklan berwarna ukuran jumbomenghias lembar-lembar koran. Sementara itu, reklame di televisimenayangkan adegan-adegan penuh pesona nan humanistik yang, sialnya,diperagakan dengan kualitas akting kelas ”play group”. Pencitraanseseorang yang ge-er merasa dirinya jagoan memberesi persoalan bangsa.Tak ada aroma kentut dalam pencitraan itu. Semua serba suci, bersih,indah, dan optimistik.
Khianat kemanusiaan?Akan tetapi ada sisi lain. Lihat dari, misalnya, hakikat iklan sebagainiat berjualan. Berdagang. Usaha untuk menangguk keuntungansebanyak-banyaknya. Dan kita pun tahu, iklan dikodratkan menjadi matarantai marketing, bertugas memprovokasi publik untuk loyal dan membeliproduk- produk industrial. Atau sekadar branding, mengingatkankeberadaan merek-merek kondang. Karena hanya melalui kekuataniklanlah, produk bersifat massal dikomunikasikan.
Sekarang ternyata fungsinya semakin melebar (atau malah menyempit?).Iklan mempromosikan produk tunggal. Diri seseorang. Seolah-olah iklancuma mengemban satu fungsi, sekadar memopulerkan sepotong wajah, tanpaharus mengungkap secara detail bagaimana kualitas dan integritas sipemilik wajah. Beriklan tidak lagi semata-mata berujung kepadaeksekusi pembelanjaan dalam konteks komersial, melainkan mendorongkhalayak untuk membeli kepercayaan dan amanah.
Nah, betapa mencemaskan jika urusan jual beli yang mendasari. Betapamirisnya apabila kepercayaan dan amanah sengaja diperdagangkan,terlebih jika itu dilakukan dengan penuh kesadaran. Bolehkah inidiartikan sedang terjadi pengkhianatan terhadap kemanusiaan, karenamanusia diam-diam sedang merendahkan derajatnya setara sabun mandiatau sandal jepit?
Juga sama sekali tidak diharapkan manusia terperangkap dalam kaidahperdagangan. Berubah menjadi sekadar angka-angka yang dengan mudahdikalkulasikan. Menjadi salah satu keping dalam sebuah sempoa. Jikamengingat iklan adalah sebuah investasi, tentu tak ada investasi tanpadiniatkan memanen laba, dan karena itulah re-investment harus diupayakan.
Maka, keganjilan tahap berikutnya adalah bagaimana kelak wajah-wajahyang nongol di berbagai iklan pencitraan yang pengin memangkukekuasaan itu, mendulang keuntungan demi balik modal? Duit siapa yangakan disedot? Kekayaan siapa yang bakal dimangsa?
”Kentut” capresMenjelang 2009, wajah-wajah yang terpampang di billboard daniklan-iklan itu seperti bernafsu memburu pacar. Dengan agresivitaskian tinggi. Bujukan tambah kenceng. Yang berbakat jadi gigolo ataupemuas nafsu, cukup menentukan tinggi rendahnya bayaran untukmenyatakan oke. Tak peduli dengan atau tanpa cinta. Yang selektiftentu akan mempertimbangkan isi kepala beserta gagasan-gagasan briliannya.
Yang modis dan sok metroseksual mungkin hanya mempertimbangkankecantikan dan kegantengannya. Yang paham sejarah dan belum dihajarpenyakit lupa, barangkali akan selalu mengingat jejak masa lalu:adakah mereka pernah menyelenggarakan genangan darah dari tubuhmahasiswa. Akan tetapi, boleh juga tak ambil peduli. Monggo.
Andaikan wajah-wajah itu memang capres, calon presiden, saya berjanjiakan tetap memilih salah satu dari mereka. Syaratnya harus jujur danberani membuktikan kualitas cinta dengan metode ”kentut” tadi itu.Artinya, harus dengan gagah perkasa berani mempertontonkan aibdirinya, sebagaimana pacar atau pasangan kita yang penuh keikhlasanmembiarkan ”knalpot”-nya bersendawa: duuuuutttt….
Lalu apa jabaran ”kentut” seorang capres? Berhubung sejak 1945 parapresiden nyaris mempunyai kebiasaan serupa, yaitu bikin kehidupankhalayak tambah susah, saya ingin mendengar janji yang pasti bakalanbisa ditepati. Sebuah kejujuran ”kentut” seperti, ”Percayalah,seumpama saya jadi presiden, harga BBM pasti akan saya naikkan.Kemiskinan akan saya selenggarakan dalam tempo sesingkat-singkatny a.Korupsi akan ditingkatkan secara adil dan beradab. Dan yakinlah,begitu dilantik jadi presiden, pasti saya akan segera berpikir untukmengembalikan modal beriklan saya”.
Duuuuuttttt….
Butet Kartaredjasa Aktor alias pengecer jasa akting, juga ”presiden”di Republik Mimpi
------------------------------------

Tidak ada komentar:
Posting Komentar